Pengalaman Tes STIFIn Anak

Keinginan mengikutkan anak tes STIFIn sebenarnya sudah ada sejak lama. Tujuan awalnya adalah mengetahui karakter yang ada pada anak kedua, yang sering saya sebut dengan si tengah. Si tengah yang sering membuat saya dan suami mengelus dada dengan tingkahnya. Sebentar kesal, marah, tapi sebentar kemudian bisa membuat kami tertawa bahkan bangga dengan pencapaian yang dilakukannya.

Saya percaya tidak ada anak yang dilahirkan nakal. Tidak ada anak yang dilahirkan bodoh. Yang ada adalah orangtua yang kurang paham. Anak ibarat kertas putih yang tergantung orangtuanya mau menulis apa di atasnya. Jika diajarkan yang baik, maka anak akan ikut baik. Sebaliknya, jika diajarkan hal tidak baik, anak pun akan ikut tidak baik.

Namun anak juga dilahirkan dengan sifat, karakter dan bakat tertentu. Bawaan gen katanya. Tugas dan tanggung jawab orangtua untuk mengarahkan karakter dan bakat mereka agar sesuai dengan fitrahnya dan memaksimalkan peran yang ada pada diri mereka masing-masing.

Bagaimana jika orangtua merasa sudah mendidik dengan baik namun masih belum bisa klop dengan anak? Lagi-lagi orangtua harus belajar.

Setidaknya hal itu yang akhirnya membuat saya membuat saya melakukan tes STIFin pada ketiga anak saya. Disclaimer, beberapa pakar parenting berpendapat tes ini tidak perlu dilakukan. Jika pun dilakukan, hasilnya tidak bisa jadi patokan 100% dalam menentukan pola terbaik mengasuh anak.

Tentang Tes STIFIn



Dari websitenya disebutkan tes STIFIn adalah sebuah konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi mesin kecerdasan (MK) manusia berdasarkan sistem operasi otak yang dominan dan dapat diketahui dengan memindai sidik jari.

Metode STIFIn sendiri disusun dari berbagai teori psikologi, neurosains, dan ilmu sumber daya manusia yang dapat membantu mengenali dan memahami karakter dan kepribadian setiap manusia. Metode ini diperkenalkan oleh Farid Poniman, seorang Master Trainer dan Senior Consultant dalam pengembangan Sumber Daya Manusia yang juga adalah salah satu penulis buku Kubik Leadership.

Sesuai dengan namanya, terdapat lima mesin kecerdasan pada manusia, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling dan Insting. Setiap karakter kepribadian dapat dibagi menjadi dua kemudi kecerdasan (motivasi) yaitu introvert dan extrovert, kecuali insting. Mesin kecerdasan yang dikombinasikan dengan kemudi kecerdasan disebut sebagai personality genetik yang terdiri dari Si, Se, Ti, Te, Ii, Fi, Fe, dan In.

Strata Genetik STIFIn


Menurut metode STIFIn, tingkatan faktor genetik yang mempengaruhi kepribadian seseorang bisa diurutkan menjadi :

1. Jenis Kelamin : laki-laki dan perempuan

2. Mesin Kecerdasan : dibagi menjadi 5 bagian belahan otak, yaitu Sensing (limbik kiri), Thinking (neokorteks kiri), Intuiting (neokorteks kanan), Feeling (limbik kanan), dan Insting (otak bagian tengah).

3. Kemudi Kecerdasan : lapisan otak yang mengemudikan respon dari tiap MK (introvert dan extrovert).

4. Kapasitas Otak : dari hasil tes IQ

5. Golongan Darah : O, A, AB, B

Lebih lanjut tentang STIFIn bisa dibaca di webnya langsung. Di tulisan ini saya hanya ingin menuliskan pengalaman pribadi mengikutkan anak saya tes ini dan penjelasan terkait mesin kecerdasan pada ketiga anak saya.

Hasil Tes STIFIn  Rainami

Biar nggak penasaran, saya mengikutkan ketiga anak saya untuk tes STIFIn. Kebetulan tes dilakukan di TK si sulung yang jaraknya cukup dekat dengan rumah kami. Biayanya cukup menguras isi dompet, Rp 500ribu per orang. Tapi karena memang sudah niat dan anggap saja ditabung selama 10 tahun sejak niat tes STIFIn muncul, bismillah semoga bisa jadi salah satu ikhtiar saya dalam mengarahkan anak-anak sesuai kecerdasan dominan yang ada di diri masing-masing.

Hasilnya, Raihan memiliki tipe kecerdasan Se (Sensing Extrovert), Nada dan Silmi memiliki tipe kecerdasan Ti (Thinking Introvert). Saya diberi penjelasan tentang arti dari masing-masing hasil tes. Raihan yang memang jago dalam menghafal dan cenderung boros, insyaAllah cocok diarahkan ke sekolah yang banyak hafalan.

Nada dan Silmi yang lebih logis namun sosialnya lebih tinggi daripada si abang. Namun karena mesin kecerdasan yang sama berpadu dengan jenis kelamin yang sama-sama perempuan, membuat secara hasil tes mereka tidak bisa didekatkan. Apalagi jika ada yang membandingkan, maka salah satu dari mereka akan sangat terusik dan berpotensi yang satu akan mendominasi yang lain (seolah-olah ada protagonis dan antagonis).

Saya cuma bisa manggut-manggut mendengar semua penjelasan tersebut. 95% nya benar saya hadapi di rumah dan menjadi tantangan saya setiap hari. PR besar saya adalah mengoptimalkan bakat dan minat yang tampak dari hasil tes STIFIn agar anak lebih semangat dan sukses menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi banyak orang.

Sejak saat itu saya berusaha untuk lebih menyesuaikan pola didik saya di masing-masing anak. Pun lebih mencoba memahami si kakak yang sering membuat saya mengelus dada. Tidak ada anak yang dilahirkan untuk membuat orangtuanya kesel. Yang ada orangtua yang kurang paham bahwa itulah cara mereka meminta perhatian.

No comments

Post a Comment